Jumat, 22 November 2013

Cinta Terlarang: Ketika Dunia Menolak




Pagi hari yang cerah, dimana semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, termasuk aku. Hari ini aku berencana olahraga pagi di pantai Sanur, mumpung kuliah jam 10.00 WITA.
Setelah semuanya siap, celana pendek, baju kaos oblong kesukaanku, handuk melingkar di leherku, tidak lupa headset terpasang di kedua telingaku dengan segera aku menuju pantai yang cukup terkenal di Bali ini, semoga pagi ini tidak seramai pagi-pagi sebelumnya.
Setibanya disana, sesuai harapanku… situasi yang cukup sepi untuk menikmati suasana pantai. Aku mulai melangkah kecil, dan mulai menyusuri pesisir pantai. Debur ombak seakan menyuruh ku untuk berlari lebih cepat, cepat dan cepat hingga keringatku bercucuran. Kakiku mulai merasa lelah, dan aku putuskan untuk beristirahat disalah satu gazebo di pantai itu setelah membeli sebotol air mineral untuk melepaskan dahaga.
Asik sendiri menikmati suasana pantai, tak jauh dari tempatku beristirahat terlihat seseorang yang juga sedang sendiri. Entah sedang menikmati suasana pantai dipagi hari sepertiku, atau sedang menunggu seseorang. Tapi….tunggu dulu. Rasanya orang itu tak asing bagiku, tapi siapa? Pandanganku yang semula tertuju pada panorama pantai yang begitu indah kini berbalik dengan sesosok orang yang tak jauh dariku.
Tanpa dia sadari, mataku dengan seksama melihat dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Tapi wajahnya kurang jelas bagiku karena posisinya dia menatap kearah pantai. Yang dapat aku tangkap tinggi badannya kira-kira sekitar 155 cm, kulit kuning langsat, rambut dipotong pendek dg style emo, badan sedikit kurus, dan hidungnya pesek. Pesek??? Mungkinkah dia??? Mungkinkah itu kamu, Ari??? Batinku tak henti-hentinya bertanya. Rasanya hati ini meloncat-loncat, kaki ini seakan mendengar apa kata hatiku, melangkah mendekati orang itu. Ketika bibir ini hendak memanggilnya, seketika lidah membeku ketika seorang gadis menghampirinya dengan membawa sebotol air mineral. Gadis cantik berambut panjang itu dipeluk mesra oleh orang yang tadinya ingin aku sapa.
“Ayo kita lanjut jogingnya Kay…” ajak gadis itu
“Iyaps, ayo sayang” jawab gadis berambut pendek, dengan mengacak-acak rambut si gadis berambut panjang, dia merangkulnya dan mulai melangkah menjauhiku yang sedang menopang badanku sendiri di tiang gazebo.
Hati ini? kenapa hati ini? Rasanya kok seperti ini? Seakan tak ada ruang lagi untuk bernafas, sesak dan perih. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Aku terdiam sendiri, termenung dalam anganku, mata ini…perih. Tak sanggup lagi, aku tidak sanggup lagi menahan semua perasaan ini. Kejadian menyakitkan itu seolah-olah terpapang jelas di lautan lepas di depanku, seperti menonton sebuah film di bioskop. Kejadian yang lalu terreplay kembali dibenakku.
Sekitar 2 tahun yang lalu…
Hubunganku dengan dia telah menginjak satu tahun lebih. Iya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya ketika aku masih tinggal dengan orang tuaku, ketika aku masih berpakaian putih abu-abu, ketika aku dan dia masih bisa melewati hari bersama, selalu berdua. Meskipun kini tidak seperti dulu, meskipun aku berada jauh darinya, kemesraan antara aku dan dia tidak pernah berubah sedikitpun. Dia tetap menjadi Ari Puspita yang selalu bisa membuatku tersenyum. Dia selalu meluangkan waktu disela-sela kesibukannya bekerja untuk menelfonku atau sekedar berkabar untuk memastikanku baik-baik saja.
“Sayang, udah makan? Mau denger ceritaku di tempat kerja nggak?” tanya’nya diseberang telpon.
“Udah kok syang, mau mau… cerita apa?”
“Tapi janji jangan marah ya?”
“Iya janji, apaan sih? Penasran deh!” jawabku mendesak
“Oke syang udah janji. Ayank tau kan ditempatku bekerja ada pekerja baru?”
“Iya tau kok sayang, si Pupsa. kan udah pernah cerita”
“Dia ternyata suka sama aku yank. Dia bilang ke aku kayak gitu, tapi aku udah jelasin dengan cincin di tanganku, kalau aku udah punya pacar. Dan aku cuman mau nganggep dia sebatas temen aja. Tapi dianya nyolot trus pengen deketin aku”
Jelebebbbbbb langsung saja hati ini memanas.
“Iiiiiihhh ganjen banget deh, pasti ayank yg TP disana ya?”
“TP? Tempat pembuangan yank? Apa tempat penampungan?”
“Bukan dodol! TP itu Tebar pesona, iyuuuuuhhhh ayank nih”
“Enak aja gue dibilang Tebar Pesona. Emang dianya tuh yang ganjen!” jawabnya dengan nada sedkit ngebentak
“Aish santai nae yank, klo gitu aku pengen ketemu dia. Sabtu ini aku pulang. Aku mau mampir ke tempat kerja mu. Bilang sama cewe ganjen itu, klo aku…bidadarimu, mau ngomong sama dia”
“Siaaaappp bos! Cepet pulang ya sayang, kangen banget nih”
Terdengar suara harapan bahagia di seberang sana, aku percaya sepenuhnya dengan cinta yang dia punya untukku. Jadi aku tak mau kejadian yang pernah terjadi dimasa lalu terulang kembali
Ujian akhir blok 1 telah usai ku tempuh, libur 3 hari menantiku. 3 hari sangat berharga bagiku, karena bisaanya aku libur paling lama 2 hari. Seperti janjiku sebelumnya ke Ari, hari Sabtu aku pulang dan segera menghampiri sang kekasih langsung ke tempat dia bekerja.
Sesampainya disana, dia telah menantiku, rindu yang terpendam tidak bisa aku luapkan karena aku sadari ini tempat umum, banyak yang melihat dan banyak dari keluarganya Ari yang tinggal ataupun kerja dekat sini, jadi lebih baik menahan hasrat dari pada dapat masalah.
“Ayo masuk sayang, mumpung lagi enggak ada tamu. Tapi kayaknya nanti kita nggak bakalan bisa ngomong bertiga, karena masih ada senior-seniornya disini”
Akupun mengangguk dan merangkul tangannya dengan mesra. Tak jauh dari pintu masuk, aku bisa melihat beberapa orang perempuan yang tengah sibuk merangkai bunga dan Ari mengajakku ke tempat itu.
“Hay kakak-kakak, kenalin ini Dwi Mahendra” pacarku memperkenalkanku di depan mereka. Satu persatu aku salami, sampai orang terakhir. Orang yang aku cari, Puspa.
“Puspa…” dia membalas jabatan tanganku
“Aku Dwi Mahendra” setengah berbisik ke arah telinganya “Aku pacarnya Ari Puspita.” Ku perlihatkan cincin di jari manis ku, dan Ari pun juga melakukan hal yang sama. Mungkin itu cukup menjelaskan kalau memang Ari Puspita itu hanya milikku yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Setelah aku rasa cukup untuk berbasa-basinya, aku dan Ari pulang untuk menikmati waktu senggang kami. Sebelum aku dan Ari pulang, sopan santun tetap aku terapkan. Aku pamit dengan rekan kerja pacarku termasuk dengan Puspa, tapi dengan Puspa harus dengan ‘bumbu’ tambahan dong (evil).
“’Aku pamit pulang ya Puspa. Sekali lagi aku peringatin, jangan sekali-kali mencoba untuk merebut Ari dari pelukanku!” terkesan jahat mungkin, tapi itu pantas dia dapatkan. Aku rangkul Ari dan melangkah keluar meninggalkan Puspa yang tengah berdiri menatap kami.
“Yang tadi itu keren yank hahaha”
“Iya donk, itu harus diterapkan. Aku enggak mau kamu di ganjenin cewe manapun!”
“Iya iya syang, nggak bakalan kepincut sama cewek manapun kok, aku kan udah punya bidadari cantik. Kemana kita selanjutnya nih?”
“Aha! Kita ke pantai deket dagang bakso itu aja yank. Kebetulan lagi laper nih”
“Wokeeehh deh sayang, ayo naik. Aku yang bonceng”
Kami pun pergi ke pantai tak jauh dari sana, menikmati bakso sekaligus menikmati panorama pantai di sore itu. Setelah aku rasa cukup kenyang, aku ajak Ari menyusuri pantai. Kami melangkah berdua, hanya berdua disaksikan oleh deburan ombak dan kicauan burung. Tangannya dengan erat menggenggam tanganku, tiba-tiba dengan sengaja dia mencipratkan air pantai ke arahku dan aku tak mau kalah dengan dia. Akhirnya pantai yang sepi disore itu mendadak penuh dengan tawa canda kami berdua, berlari saling kejar-kejaran bagaikan kisah-kisah sinetron di televisi. Setelah aku rasa capek mengejar dia yang lumayan gesit untuk menghindar dari serangan-seranganku, aku merebahkan diri di atas pasir putih yang masih terasa hangat.
“Hahahaha masak gitu aja kalah sih? Kali ini aku yang menang” dia mendekat  dan mengejekku.
“Nggak kalah sih, cuman mau ngasi kesempatan aja”
Tak ku duga, tanpa ancang-ancang pertahananku, dia dengan tiba-tiba menggelitikku. Otomatis gerak refleks yang lumayan ekstrim harus rela dia dapatkan, pukulan yang bertubi-tubi
“Adddoooohhh ampuuunn. Stop stop yank! Sakit nih ayank pukulin. Astaga pacarku ikut karate juga dikampus? ” terlihat dia mengusap-usap badannya yang aku pukuli.
“Ye siapa suruh gelitikin? Tau rasa kan sekarang huuuuuu” ejekku.
Dia tersenyum dan merebahkan dirinya di sampingku. Aku menoleh ke samping, dimana sepasang mata tak lepas-lepasnya menatapku yang sedari tadi menikmati langit indah berwarna jingga.
“Hei. Jangan ngeliatin aku kayak gitu dong… nanti copot lho bola matanya” ku pencet hidung pesek pemilik bola mata yang sipit itu.
“Kamu nggak berubah ya Wik. Tak terasa udah setahun lebih kita bersama dan selama itupun kamu masih seorang Dwi Mahendra yang aku kenal, yang aku cintai. Masih tinggi, manis, cantik, sama sekali tidak berubah. Itu yang aku suka darimu”
Aku tersenyum mendengar kata yang baru saja dia katakan “Aku tetap Dwi Mahendramu yang dulu kok sayang, yang masih mencintaimu seperti pertama kali kamu menciumku”. Dia tersenyum dan merubah posisinya, kini dia tepat berada diatasku, menatapku, dan menciumku. Deburan ombak mengiringi sepasang kekasih yang sedang memadu kasih dan melepas rindu yang telah lama terpendam tanpa menghiraukan lingkungan disekitar.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara tawa beberapa orang, dengan segera aku terbangun.
“Kenapa sayang?” tanya Ari heran
“Kamu nggak denger? Ada orang ketawa! pasti ada orang disekitar sini.” Dengan waswas aku melihat disekelilingku. Seakan baru tersadar, Ari dengan segera bangun dan mengecek situasi sekitar.
“Nggak ada yank” katanya.
Mataku terfokus oleh satu tempat, seakan dari sana ada yang sedang mengawasi gerakgerik kami dari tadi. Dan benar saja, terlihat dua pasang mata sedang mengintip dari balik tembok tak jauh dari tempatku terdiam. Tanpa pikir panjang, dengan segera aku menarik tangan Ari dan pergi menjauh.
“Kenapa nih ?”
“Kita pergi dari sini, dari tadi kita dimata-matai.”
Ari terlihat terkejut dan menuruti apa yang aku suruh. Sampai di rumahnya Ari, aku hanya diam memikirkan siapa orang yang tadi dipantai? Menyadari kekasihnya ada yang berbeda, Ari menyadarkanku dan menenangkanku
“Tenang aja sayang, semua akan baik-baik saja” dia menggenggam tanganku
“Aku takut. Takut semua ini akan terbongkar, dan takut hubungan kita……”
“Sssstttttt jangan dilanjutin. Kamu percaya kan sama aku?” jarinya menyentuh bibirku
“Iya aku percaya…”
“Kalau begitu, percaya semua akan baik-baik saja, hubungan kita akan baik-baik saja ya?”
Aku hanya mengangguk. Dia memelukku, mencoba menenangkanku.
“Oke bidadariku, karena udah mau malem sekarang kamu pulang ya? Biar ayah sama ibu nggak khawatir sama kamu.”
Aku tatap matanya dan senyum manis tersungging dari bibir mungilnya. Aku tersenyum dan memberikan kecupan di pipi nya, dan memeluknya dengan erat.
“Uhhh wanita cantikku. Gemes deh… Ya udah hati-hati ntar di jalan ya. Inget selalu berdoa. Dan ingat satu hal, aku sangat mencintaimu” dia mengacak-acak rambutku. Dia samasekali tidak berubah sedikitpun, dia masih saja seperti dulu. Selalu cerewet mengingatkanku, you’re my guardian Ari.
Hari demi hari berlalu, aku kembali dengan segudang aktvitas kuliahku. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk telah menantiku dan menyita waktuku untuk sekedar berkabar dengan kedua orang tuaku, bahkan dengan sang kekasih hatiku. Jangankan untuk istirahat, untuk makan pun aku tidak teratur. Dan aku sudah siap dengan semua resiko untuk menempuh masa depan di bidang kesehatan seperti ini.
Entah karena tugas-tugas kuliahku, atau karena  memang kesalahanku sendiri, Ari akhir-akhir ini sering ngambek’an. Dia merasa diduakan dengan segudang tugas-tugas dan kuliahku. Aku mencoba menjelaskan secara detail dengan segala aktivitasku, dan tidak ada maksudku untuk menduakannya dari tugas-tugas atau apapun itu.
“Aku bosen dengerin kamu bilang ‘tugas tugas dan tugas’! setiap aku sms, atau aku telfon, kamu selalu sibuk dan bilang ada tugas yang harus kamu buat! Kapan kamu ada waktu buat nemenin aku? Jangan lama-lama deh, sebentar aja udah cukup!”
Aku shock mendengar apa yang dia bilang, tanganku yang sedari tadi sibuk mengetik materi-materi dari buku untuk menyelesaikan tugas kuliahku terhenti.
“Kamu kenapa?”
“Nggak”
“Sayang, udah berapa kali kita omongin ini? sayang sendiri yang dulu bilang ke aku, kalau kuliah disini itu nggak mudah, banyak yang harus dikerjakan dan dikorbankan. Dan sekarang seperti inilah tugas-tugasku sekarang sayang.” jawabku dengan tenang mencoba menenangkan dia
“Terserah kamu deh! Aku bosen dengerin kamu bilang kayak gitu!”
“Loh kok gitu?...”  aku berfikir sejenak, tumben kali ini dia seperti ini. bisaanya dia selalu mengerti aku, bahkan mendukung aku disetiap kegiatan yang aku ikuti. Apa salahku yang buat dia seperti ini?
“Iya emang gitu.” jawabannya membuat mataku tak bisa menahan perih. Buku-buku yang tadi kering dipangkuanku kini basah karena tetes-tetes air mataku
“Kamu kok rasanya berubah? Aku sadar kok aku terlalu sibuk dengn aktivitas-aktivitas kuliahku, aku minta maaf atas semua kekuranganku ini, tapi kamu selalu bisa mengerti aku, tapi sekarang kok kamu seperti ini?” tanyaku sambil menahan isak tangis, tak ingin dia mendengar aku menangis disini.
“Kamu mau dimengerti tapi kamu tidak pernah mengerti aku”
Dan pertengkaran hebat tak bisa aku hindari, bahkan kata putus sempat terucap dari bibirnya. Aku sadar akan kesalahanku, tapi situasi seperti itu siapa yang mau meminta? Kalau aku disuruh memilih menjadi seorang perawat tanpa harus menyelesaikan setumpukan tugas-tugas dengan memilih menjadi seorang perawat dengan tumpukan tugas-tugas, aku akan memilih opsi pertama! Tapi apa daya? Tidak ada pilihan yang bisa membuatku untuk tidak memilih situasi seperti ini. Dan Ari mungkin kesal, kesal dengan seluruh kegiatanku yang menyita waktuku untuk dia, aku mengerti. Diposisi seperti ini aku bingung harus berbuat apa? Menangis? Lempar semua barang-barang didekatku? Iya hanya itu yang aku lakaukan (Hah cengeng banget aku jadi cewek). Menangis hingga mata ini lelah dan terlelap.
Keesokan paginya aku terbangun tanpa ucapan selamat pagi dari sang kekasih. Tersadar dengan kejadian tadi malam, rasanya tak ingin pergi ke kampus untuk kuliah. Tapi aku punya tanggung jawab yang harus aku selesaikan demi orang-orang tercintaku.
Aku berusaha tersenyum tegar di depan teman-temanku, mengikuti kuliah seperti hari-hari yang telah berlalu. Raga dalam kelas tapi fikiran diluar kelas. Mataku hanya terfokus pada Hp yang dari tadi aku pegang, berharap dia membalas sms dariku. Aku mengecek kembali jadwal kuliah berikutnya, siapa tau ada jam kuliah yang kosong, ingin rasanya aku samperin dia, hati ini rasanya tidak pernah tenang ketika ada masalah seperti ini.
Detik demi detik bagiku berlalu begitu lama akhirnya jam perkuliahan pertama telah usai. Seakan Tuhan mendengarkan doa’ku, dosen pengajar kedua tidak bisa hadir. Tanpa pikir panjang aku segera berkemas, tidak memandang perut masih kosong, mata perih, dengan masih menggunakan pakaian seragam kampus aku langsung menuju ke rumah pacarku. Tumben pertama kali ini aku pulang tanpa mampir ke rumah dulu.
Di perjalanan pulang, berulang kali aku mencoba menghubungi Ari. Sama sekali tidak ada respon, aku pacu sepeda motor matic ku dengan kecepatan tinggi. Dan akhirnya aku sampai di rumahnya Ari dalam hitungan menit.
“Permisi, Om… Tante…?”
Tidak ada satu orang pun yang meresponku, sepertinya orangtua dan kakaknya pada sibuk bekerja. Aku lihat pintu kamarnya Ari sedikit terbuka, perlahan kakiku melangkah ke arah kamar kekasihku. Tas laptop yang tadinya aku jinjing terjatuh dilantai ketika melihat kondisinya Ari yang tengah terbaring lemah.
“Sayang, kamu kenapa?” aku cek suhu tubuhnya, denyut nadinya. Suhu badannya tinggi sekali, tanpa pikir panjang aku segera menggendongnya. Entah darimana datangnya tenagaku untuk menggendongnya, dengan hati-hati aku posisikan dia di atas sepeda motorku, ku arahkan tangannya melingkar keperutku dan ku pegang erat tangannya. Dengan hati-hati aku menuju klinik terdekat disana.
Tanganku tak henti-hentinya menggenggam tangannya ketika dia diperiksa oleh dokter. Dia masih terbaring lemah, terlihat menggigil dan tidak sanggup berkata-kata.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
“Sabar ya sayang, lagi sebentar pasti kamu bakalan sembuh kok” ucapku membisikinya.
Setelah dokter selesai mengecek kondisi belahan jiwaku dan memberikan beberapa obat, aku segera mengurus administrasi. Setelah semua selesai, aku lihat Ari yang tengah berbaring menatapku seolah memanggilku untuk mendekatinya.
“Tenang ya sayang,  cuman demam biasa” jawabku tersenyum sambil mengelus kepalanya.
“Adiknya ya dik?” tanya dokter mengagetkanku.
“Uhmmmm iya dok. Masih ada hubungan keluarga.” Jawabku berdusta
“Iya istirahat yang cukup, minum obatnya dengan teratur, dan minum air putih yang banyak pasti bakalan cepet sembuh kok”
“Iya dok, makasi ya dokter. Saya pamit pulang dulu”
Aku bopong Ari yang terlihat mulai sadar dengan situasi sekelilingnya. Setelah kembali ke kamarnya, aku baringkan  dia diatas tempat tidur.
“Bentar ya sayang, aku mau keluar dulu. Sebentar aja”
Aku bergegas keluar untuk membeli bubur didekat rumahnya dan kembali untuk merawatnya. Suap demi suap bubur yang masih terasa hangat perlahan masuk ke bibir mungilnya dan beberapa butir obat menyusul ke dalam lambungnya.
“Sayaa..aang…”  dia memanggilku dengan suara parau
“Iya sayang? Tenang ada aku disini ya, kamu akan baik-baik saja cintaku” ku kecup keningnya. Ku usap-usap kepalanya, hingga dia terlelap. Hari sudah menjelang sore, keluarganya Ari belum ada yang pulang ke rumah. Ku lihat Ari masih terlelap, suhu tubuhnya sudah menurun, ku usap keringat dingin yang dari tadi keluar dari keningnya.
Ketika aku tengah senyum-senyum sendiri melihat-lihat foto kenangan kami berdua, melihat bunga edelweiss yang masih tersimpan rapi, dan sedikit merapikan kamarnya, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang
“Sayang……” aku menoleh ke arah pemilik suara yang masih lemah itu
“Sudah bangun sayang? gimana rasanya? Sudah baikan?” aku tempelkan telapak tanganku dikeningnya.
“Aku nggak kenapa-kenapa sayang. kok bisa sayang disini?”
“Aku disini karena mu. Maafkan aku sayang”
“Aku sangat merindukanmu”
“Aku juga merindukanmu” ku peluk erat tubuhnya seakan tak ingin dia pergi jauh dari sisiku.
“Kenapa kamu nggak jujur sama aku kalau kondisi mu ngedrop lagi?” aku berdiri seolah-olah memarahi anak kecil yang bandel.
“Aku nggak kenapa-kenapa sayang. Nih liat, aku kan kuat?” kedua tangannya diangkat keatas mencoba meniru gaya Hulk yang sedang mengangkat mobil.
“Iyuuuhhh apaan tuh yank yank, makin lembek ja dari dulu, tapi kamu tetap ku cinta”. Dia mengecup bibirku, astaga lama sekali aku tidak merasakan kehangatan ini. setelah lama berpisah jarak gara-gara kesibukan masing-masing.
Dubraaakkkk…
Aku dan dia dikagetkan dengan suara pintu dibanting di luar sana. Dari balik jendela aku mengintip siapa yang datang. Ternyata kakaknya sudah pulang dari bekerja.
“Siapa yang datang cinta?”
“Kakakmu, kayaknya dia baru aja pulang kerja”
Dia sekilas melirik jam dinding yang telah setia menemaninya dikamar itu.
“Sudah jam 5 sore sayang. Kamu ada bilang sama ayah ibu mau pulang?”
“Hummmm belum. Hehehehe” jawabku cengengesan
“Issshhhh jangan dibisaakan. Oh ya besok kan hari Rabu, kamu nggak kuliah?”
“Sebenarnya sih kuliah…… Bsok aja dh aku balik ke Denpasar”
“Maaf ya sayang,maaf aku selalu ngerepotin, maaf juga yang kemarin aku lose control. Aku janji kejadian kemarin tak akan terulang lagi. Okey bidadariku, karena udah mau malem, sayang siap-siap pulang dulu nae. Aku udah nggak kenapa-kenapa kok. Ya?” dia tersenyum
“Apapun akan aku lakukan untukmu selama itu aku mampu sayang…”
Dia mengecup keningku, dan segera aku rapikan barang-barang yang aku bawa tadi setelah memastikan keadaanya sudah benar-benar membaik. Dia mengantarku sampai didepan rumahnya, aku pamit pulang kepada kakaknya yang tengah duduk santai di teras rumah. Entah cuman perasaanku saja, aku lihat tatapan mata kakaknya berbeda seperti sebelumnya, tatapan penuh dengan kebencian.
Hari terus berganti seperti bisaa melakukan kegiatan yang cukup membosankan di kampus hanya datang, duduk, diam mengikuti kuliah, ada tugas ya ngerjain tugas, bukan berarti aku tidak punya teman hanya saja aku tidak ingin terlalu terbuka tentang diriku kemereka, tapi hari-hari yang membosankan itu bisa aku lalui selama ada Ari dihidupku yang selalu membuat hidupku berwarna. Setiap hari ada saja topic yang kami bicarakan, mulai dari cerita ditempat dia bekerja, cita-cita dimasa depan, cerita tentang keluarga, bahkan kami sempat membicarakan sebuah pernikahan. Iya, pernikahan yang kami ketahui di negeri ini dilarang. Pernikahan yang ingin aku langsungkan di luar negeri sana yang mengijinkan pernikahan sesama jenis. Mungkinkah aku bisa bersamanya hingga akhir hayatku?
Rasanya tak ingin lagi mengenal cinta yang lain, tak ingin lagi berpaling dengan yang lainnya. Cukup dengan adanya dia dihidupku, itu sudah lebih dari indah yang pernah aku miliki. Meski ku tau cinta ini, cinta yang terlarang. Cinta yang dibenci oleh sebagian besar orang diluar sana. Aku tak peduli apa yang akan terjadi dimasa depan, yang aku peduliin hanya sekarang! Hanya aku dengan dia.
Impianku bersamanya untuk saling merawat, tinggal berdua dalam satu atap, memasak untuknya, membuka bisnis bersama, mengadopsi baby, merawat baby, berlibur bersama-sama, betapa bahagianya hidupku jika itu semua terjadi. Tapi, impian hanyalah sebuah impian. Hari itu, hari yang sangat aku benci, hari yang bagaikan neraka menghancurkan semua mimpi-mimpiku bersamanya.
Malam itu aku mempersiapkan diri untuk megikuti ujian akhir blok 2, tanpa ditemani sang kekasih karena malam itu dia lagi lembur. Setelah aku merasa cukup untuk belajar, aku putuskan untuk tidur biar besok pagi tetap fit mengikuti ujian. Sebelum aku tidur, seperti bisaa aku sms Ari mengucapkan selamat malam dan dengan kata-kata cintaku. Tapi semua pesanku tidak terkirim ke nomornya Ari, aku coba menghubunginya ternyata nomornya tidak aktif. Mungkin big bos-nya lagi memantau dia bekerja deh, ya sudah aku langsung tidur saja.
Keesokan harinya dengan persiapan kemarin aku bisa melewati ujian matakuliah pertama dengan baik, semoga hasilnya nanti sesuai dengan harapanku. Tapi ada yang membuatku sedih, belahan jiwaku tidak ada kabar sama sekali, nomornya pun sulit untuk dihubungi. Ah mungkin saja dia masih tidur, kemarin pasti kecapekan. Aku harus positif thinking dan percya sama dia. Tiba-tiba hpku bergetar pertanda ada pesan masuk, berharap itu Ari tapi ternyata dari nomor yang nggak aku kenal.
 “From: 08199947xxxx
Dwi Mahendra ya?
Aku Linda, temennya Ari. To the point aja ya, aku mau nanya apa sih yang kamu lakuin selama ini ke Ari? ”
Aku balas sms dari Linda. Dulu Ari sempat menceritakan sekilas tentang Linda, teman satu kelasnya waktu SMA.
“To: 08199947xxxx
Iya aku Dwi, Lin. Ngelakuin apa? Aku nggak ngelakuin apa-apa Lind. Emang ada apa?
Tidak lama kemudian hp’ku bergetar, balasan dari Linda.
“From: 08199947xxxx
Kamu nggak usah pura-pura gitu deh. Aku tau kok selama ini hubungan kalian! Aku tau kok kamu pacaran sama Ari. Aku nggak mempermasalahkan itu, aku sebagai temannya dia mengerti. Yang nggak habis fikir, kamu apain Ari sampai dia kayak gini sekarang?”
Tanpa pikir panjang aku telepon pemilik nomor itu.
“Hallo Linda. Maksud mu apa??? Emang Ari kenapa?”
“Kamu nggak tau kondisinya Ari sekarang ini seperti apa? Semua ini gara-gara kamu dia seperti ini, sekarang dia terbaring lemah di rumah sakit”
Aku diam sejenak mencerna apa yang dia katakan baru saja
“Dia sakit apa Lin? Tp maaf sebelumnya ya, hubunganku sama Ari kemarin baik-baik saja jadi tolong jangan judge aku seperti itu”
“Dia kritis, dia kemarin mencoba bunuh diri di pantai. Kemarin malam dia lompat dari pinggir pantai tapi syukurlah ada orang yang nolongin dia waktu itu. Kalau bukan gara-gara kamu siapa lagi?”
“Bunuh diri? Bunuh diri karena apa? Ngapain dia ngelakuin itu semua? Trus sekarang dia baik-baik aja kan? Kamu lagi dimana sekarang?” tanyaku panic
“Iya, dia lagi kritis. Aku disampingnya, berharap dia cepat sadar. Kamu beneran sama sekali nggak ada masalah sama dia? Aku nggak tau kenapa dia mencoba melakukan hal yang benar-benar bodoh, aku kira kamu ada masalah sama dia” nada bicara Linda yang tadi berurat sekarang mulai tenang.
“Iya aku sama sekali enggak ada masalah apapun, kemarin dia juga nggak ada kabar. Nomornya susah aku hubungi. Aku masih enggak percaya dia melakukan hal seperti ini, aku nggak ngerti”
“Kenapa kamu nggak kesini aja? Liat kondisinya sekarang kalau kamu enggak percaya!”
Aku berpikir sejenak, bagaimana caraku membuktikan kebenaran berita kali ini? Sementara masih ada ujian yang harus aku tempuh.
“Masih ada ujian yang harus aku tempuh selama dua hari kedepan Linda. Aku boleh minta tolong nggak?”
“Apa?”
“Tolong jagain Ari disana ya. Aku sangat mencintainya, aku tak ingin dia kenapa-kenapa, ingin rasanya aku segera kesana tapi situasi ku yang tidak memungkinkan. “
“Tanpa kamu suruh aku akan tetap disini menjaga teman baikku”
“Makasi ya Linda, minta tolong kabarin aku disetiap perkembangan kondisinya ya”
“Oke”
Aku pergi ke salah satu sudut kampus, tempat yang aku sukai, tempat aku menenangkan diri ketika ada hal-hal seperti ini. Ya Tuhan, dimanapun dia, apapun yang dialakukan, lindungilah dia, lindungilah orang yang aku cinta.
“Hei Mahen, ngapain kamu disini?” aku dikagetkan oleh tegur sapa seorang gadis
“Oh Dian, enggak kok. Cuman pengen liat kota ini disore hari”
“Lagi galau ya?” dia berdiri di sampingku
“Hemmm enggak kok. Kenapa belum pulang?”
“Tadinya mau pulang, tapi liat kamu disini jadi penasaran lagi ngapain hehehe”
“Oh gitu, iya aku juga tadinya mau ulang juga’
“Kalau gitu ayo kita pulang bareng-bareng” dia menarik tanganku, dan kita pulang bersama. Dian, teman sekelas ku, yah lumayan dekat lah hubunganku sama dia.
Setibanya di kos, seakan tidak ada niat untuk melakukan apapun, hanya terdiam memikirkan apa yang Linda katakan tadi. Aku berusaha menghubungi Ari, tapi hasilnya sama seperti kemarin. Fikiranku mulai kacau, memikirkan yang tidak semestinya aku pikirkan. Tidak! Ini semua tidak terjadi, pasti ada yang salah, batinku memberontak. Lebih baik aku sembahyang, dan belajar sebentar untuk ujian besok. Apa yang terjadi aku pasrahkan sepenuhnya kepada Tuhan.
Ujian berikutnya tidak sebaik ujian sebelumnya, soal-soal tidak bisa aku jawab dengan yakin, fikiranku kacau, terbagi antara dikampus dengan dia. Setiap aku menanyakan kabar tentang dia dari Linda, masih sama seperti kemarin, masih kritis. Tidak ada kabar samasekali dari dia membuatku semakin lemah, ini semua membuktikan apa yang Linda katakan benar.
Selesai ujian aku segera menghubungi Linda memastikan keadaanya Ari.
“Hallo Linda? Aku besok terakhir ujian   dan besok rencananya aku mengunjungi Ari, gimana kabar Ari disana?”
Dia terdiam begitu lama…
“Ari……” terdengar isak tangis dari seberang sana
“Ari? Iya Ari dah aku tanyain Lin.. Ari gimana kabarnya dia? Dia baik-baik aja kan? Dia udah siuman kan? Bilang sama dia aku mau kesana besok.”
“Wik,, Ari…”
“Iya kenapa??? Ari kenapa?” tanyaku mendesak
“Ari udah nggak ada wik, dia…dia udah nggak ada lagi di dunia ini”
Aku terdiam mendengar apa yang baru saja Linda katakan
“Kamu bohong kan Lin? Bohong kan?”
“Enggak wik, dia udah ninggalin kita tadi pagi. Dokter udah berusaha, tapi keadaanya semakin melemah.”
Kaki ini tak sanggup berdiri, aku bersandar didinding, tangan gemetar, mata tak sanggup lagi membendung kepedihan ini.
“Aku enggak percaya, dia enggak akan tega ninggalin aku sendirian disini. ENGGAK Linda!!!” Aku menangis sejadi-jadinya
“Udah wik, ikhlasin aja. Kita dan keluarganya disini udah mengikhlaskan dia pergi. Dan nanti sore dia akan dikremasi.”
Aku tidak sanggup lagi berkata apapun, hp yang dari tadi aku pegang, terjatuh. Sendiri dipojok kamarku, memikirkan apa yang telah terjadi dan apa yang akan aku lakukan, pikiranku kacau. Setelah lama terdiam tiba-tiba hp-ku bergetar, ada 1 pesan masuk dan dari nomor yang berbeda lagi
“From:0817805xxxxxx
Eh ini Dwi Mahendra ya?
Kamu apain adikku hah?
Gara-gara kamu!!! Gara-gara kamu dia jadi seperti ini! Kamu ngerusak adikku. Orang bangsat kyak kamu enggak pantes hidup di dunia ini! Sekarang apa yang bisa kamu lakuin? Bisa kamu balikin nyawa adikku lagi hah? Bangsat, orang kayak kamu nggak pantes hidup bahagia”
Aku replay sms dari seseorang yang semakin mebuat hati ini hancur.
“To: 0817805xxxxxx
Ini kakaknya Ari?
Maaf sebelumnya, Dwi enggak ngerti apa yang kakak katakan. Dwi sama sekali enggak ngerti apa yang terjadi”
Tidak lama aku menunggu, sms balasan dari pemilik nomor itu.
“From: :0817805xxxxxx
Enggak usah pura-pura nggak tau deh ya! Kamu yang buat adikku menjadi seorang lesbian! Orang-orang berpenyakit kayak kamu harusnya dihancurin didunia ini. Gara-gara kamu semua ini terjadi! Tunggu suatu saat nanti hidup mu enggak bakalan tenang!”
Dari semua sms-sms kakaknya, terlihat betapa besar kebenciannya pada ku. Seakan gara-gara aku semua ini terjadi. Lelah dengan semua tuduhan yang mereka berikan untukku, aku segera berkemas-kemas dan langsung pergi ke rumahnya Ari. Aku ingin menjelaskan apa yang telah terjadi.
Setibanya di rumah Ari, terlihat sepi. Tidak ada orang satupun, kemana mereka semua? Teringat akan rumahnya Ari yang lagi satu, yang pernah dia ceritakan kepadaku, mungkinkah dia disana? tapi…aku enggak tau dimana rumahnya itu, dia belum sempat mengajakku pulang kesana. DUMN!!! Aku mencoba mencari Ari ketempat yang sering aku kunjungi bersamanya, hingga ke tempat kerjanya, berharap aku bisa menemukannya. Tapi hasilnya Nihil, hingga di tempat terakhir aku dan dia menghabiskan waktu, di pantai berpasir putih yang menjadi saksi indahnya cinta kami selama ini.
Terdiam disana, mengingat apa yang pernah terjadi di pantai itu dan merenungkan apa yang telah terjadi sekarang. Air mata ini menetes mengingat semua cobaan ini.
“Ari, dimana kamu sekarang? Aku sangat membutuhkanmu. Aku butuh kamu ada disampingku, kuatkan aku. Aku lelah, aku capek Rik. Aku mohon jangan pernah pergi menjauh dari sisiku. Aku tak sanggup berdiri sendiri tanpamu…” mata ini memandangi lautan lepas, langit meneteskan titik-titik air seakan ikut merasakan perihnya sakit hati ini.
Hujan semakin deras, teringat kembali disaat dia memelukku di bukit belakang rumahnya, memberikan kehangatan. Tapi sekarang aku hanya sendiri disini bersama bayang-bayangannya, sendiri ditengah kedinginan, hanya aku dan semua kenangan indah itu :’)
Sebelum aku kembali ke rumahku, aku mencoba mencarinya lagi sekali ke rumahnya. Berharap semua ini hanya mimpi burukku saja.
Setibanya aku di rumahnya terlihat ada beberapa orang yang tak aku kenal bersama kakaknya. Dengan kaki bergetar aku melangkah mendekati kakaknya.
“Kamu??? Beraninya kamu kesini?” dia mendekatiku.
“Kak, Ari mana?” tanyaku dengan tampang lusuh
“Buat apa kamu nanyain dia? Nggak cukup bagi mu ngancurin adikku? Kamu mau ngancurin keluargaku juga? Aku tau semua yang kamu lakuin ke dia! Jadi nggak usah kamu sok perhatian di depanku” katanya dengan nada ngebentak
“Kak, aku sangat mencintai dia. Aku enggak mungkin nyakitin, apalagi membuat situasi seperti ini kepada orang yang aku cintai” ucapku dengan tetes air mata ini
“What the fuck! Dasar lesbian! Enggak usah kamu sok suci! Sekarang apa yang mau kamu cari? Dia udah tenang disana. Apa yang sekarang mau kamu lakuin? Kamu bisa ngembaliin adikku seperti sedia kala hah?”
Aku hanya bisa menangis, mendengar semua kata-kata yang terucap dari kakaknya sendiri.
“Air matamu enggak bakalan mengembalikan keadaan. Sekarang kamu pulang! Aku enggak mau kedua orang tuaku tau gara-gara kamu adikku meninggalkan kami. Pergi!!!” dengan kasar kakaknya menyuruhku meninggalkan rumah itu.
Aku melangkah ke luar rumah nya. Hanya bisa menangis dan menangis. Teringat dengan pohon di bukit itu, aku bergegas pergi kesana. Ku lihat pohon yang semakin membesar itu berdiri dengan kokohnya.
“Cinta, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Kenapa kamu tega ninggalin aku sendiri disini? Aku sangat merindukanmu! Aku sangat membutuhkan mu ada disini seperti waktu itu. tapi kenapa kamu tega ninggalin aku sendiri?. Kamu lihat dari sana? Aku lelah cinta. Meskipun kamu sudah tidak ada di dunia ini lagi. Aku mohon tunggulah aku, percayalah padaku cintaku tetap untuk mu. Dan tetaplah ada untukku, temani hari-hariku. Kuatkan aku….” Hujan semakin deras, mengiringi langkahku meninggalkan tempat itu dengan sejuta kenangan yang indah.
Pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup, membuat kedua orang tuaku panik. Aku berusaha menyembunyikan kepedihan yang aku rasain. Mengurung diri di kamarku, hanya sendiri. Pedih dan sesak, hanya itu yang aku rasa ketika mengingat semua kenangan yang terjadi di kamar ini, ciuman pertama aku rasakan bersama dia, belajar bareng, bercanda bareng, menikmati waktu berdua. Ingin melampiaskan rasa sakit di hati ini, tapi bagaimana caranya? Aku lihat ada sebuah silet di atas meja belajar ku. Kejadian yang lalu terulang kembali, lose control, tak peduli lagi apapun yang terjadi, menyayat seluruh tubuh ini. Aku tuliskan sebuah surat, dengan tetesan darah yang dari tadi mengalir. Surat untuk dia yang sudah pergi meninggalkanku disana. Mata ini terasa berkunang-kunang, lemas, dan akhirnya aku tak sadarkan diri.
Ketika aku membuka mata, aku lihat adik sepupuku disapingku memegang tanganku.
“Kak dwi.? Kakak inget siapa aku?”
“Kenapa sih yuk?”
“Syukurlah…” dia memelukku “…apa yang kakak lakuin? Kenapa tangan kakak berdarah-darah?”
Aku teringat apa yang telah terjadi sebelumnya. Aku melihat tanganku telah di perban dengan rapi.
“Ibu sama ayah dimana?”
“Ibu sama Ayah lagi enggak di rumah. Cuman ada Ayu dan kak Eka aja disini”
“Mereka tau kakak seperti ini?” tanyaku panik
“Enggak kak, mereka belum tau, cuman Ayu sama Kak Eka aja yang tau”
“Syukurlah. Dik, kakak mohon jangan bilang ke ayah sama ibu masalah ini. kakak nggak mau mereka khawatir ya?”
Dia mengangguk menyatakan mengerti
“Nah itu baru namanya adik kakak. Oh ya jam berapa nih dik?”
“Hmmmm jam delapan pagi kak.”
Aku tersentak kaget, teringat hari ini ada ujian akhir yang harus aku tempuh jam 10 pagi. Aku bergegas merapikan semua barang-barangku.
“Kakak mau kemana?” tanya Ayu bingung
“Kakak mau balik ke Denpasar dik. Ada ujian yang harus kakak tempuh”
“tapi kakak kan masih luka”
“Kakak enggak kenapa-kenapa kok dik. Nanti bilang sama ayah sama ibu kalau kakak sudah balik ke Denpasar, ada ujian yg harus kakak ikuti. Inget, jangan katakan apapun masalah ini ke mereka.”
“Iya kak, Ayu ngerti” jawabnya. Aku mengusap-usap kepalanya.
Setelah semua siap, aku pamit sama kakak ku. Terlihat dia menatapku dengan tatapan mata yang marah.
“Mau kemana kamu?”
“Adik mau ke kampus kak. Ada ujian yang harus adik tempuh”
“Sejak kapan kamu kayak gini?”
“Maksudnya kak?”
“Sejak kapan kamu jadi seorang lesbian? Kakak udah curiga dari dulu, tapi kakak diem. Ngeliat kamu seperti ini, jujur kakak marah! Kamu nyiksa dirimu cuman gara-gara orang seperti dia? Begitu rendahnya hidupmu?”
Aku kaget, sepertinya kakakku sudah tau apa yang telah terjadi.
“Kak, kakak tidak mengerti apa yang telah terjadi. Jangan judge adik kayak gini…” aku langsung pergi meninggalkan kakakku. Tak peduli dengan orang-orang disekitarku, tak peduli dengan nyawa ku sendiri, aku memacu motorku dengan kecepatan penuh ke arah Denpasar.
Jam di tanganku menunjukan jam 10 lebih. Sesampainya di kampus dengan kondisi yang masih lemah aku segera melangkah ke ruang ujian. Disana terlihat semua teman-temanku telah menjawab setengah dari soal-soal yang mereka pegang. Aku menyusul mereka bermodalkan ingatan materi-materi yang masih tersisa.
Aku menyelesaikan ujian dengan jawaban yang entah itu benar atau salah. Ketika aku merapikan mejaku, Dian menghampiriku.
“Kamu kok bisa telat?”
“Iya nih aku tadi dari rumah” jawabku sambil tersenyum
Dia terlihat memperhatikan tanganku, tersadar akan hal itu aku segera menyembunyikannya.
“Kenapa tanganmu?” dia menarik tanganku
“Enggak kenapa. Ayo kita pulang”
Terlihat dia mengerti aku tidak ingin diganggu, dia pun mengangguk.
Aku tidak segera pulang ke kos, aku pergi ke pantai tak jauh dari kos ku. Menenangkan fikiran, hanya sendiri menikmati lautan lepas.
“Ya Tuhan? Kenapa sesakit ini memiliki cinta yang Engkau ciptakan? Apa sebegitu hinanya cinta yang aku miliki? Jika memang ini hina, mengapa Engkau ciptakan cinta seperti ini? Aku percaya pada-Mu, akan jalan yang telah Engkau berikan untukku. Tuhan…aku tidak menyalahkanMu, aku hanya tidak mengerti dengan jalan yang Engkau berikan untukku. Aku mohon, kembalikan Ari untukku. Aku mohon…” berdoa, berharap Ari berada di depanku, merangkulku, memelukku dari keterpurukanku ini. Tapi semua itu percuma saja, hanya ada lautan biru didepan mataku.
Setelah kejadian itu hari-hariku terasa begitu berat. Libur ujian seminggu yang bisaanya aku lalui bersamanya kini tinggal kenangan. Yang aku lakukan hanya diam di kamarku, mengisolasikan diriku sendiri dari lingkungan luar, rasanya aku seperti orang gila hanya mengurung diri dengan berjuta khayalanku, khayalanku bersama orang yang aku cintai.
Aku sadar ini tidak baik, ini enggak seharusnya aku lakukan. Ari pasti sedih disana melihat aku seperti ini. Akhirnya aku putuskan untuk mencoba berinteraksi kembali dengan lingkungan luar. Dengan motor matic biru yang telah menemaniku selama 6 tahun, aku melintasi sepanjang jalan tanpa arah dan tujuan, ku biarkan sepeda motor ini membawaku entah kemana.
Setelah lama berputar-putar nggak jelas dijalanan, aku putuskan untuk beritirahat di pantai dekat rumahnya Ari. Entah kenapa aku pengen sekali menikmati es teller kesukaanku, sambil mengingat kenangan bersamanya di tempat itu. Hufh hampir semua sudut di derah itu pernah aku kunjungi bersamanya, melewati hari berdua.
Asik sendiri dengan es teller ku, aku dikejutkan oleh suara seorang laki-laki
“Wooooeee brow”
“Heeeiiii Frengki? Astaga udah lama enggak ketemu, gimana kabarmu nih?” sapaku. Frengki, teman lamaku,salah satu teman cowo sekelasku waktu SMA.
“Iya kamu sibuk sendiri sih, kabarku baik-nbaik aja. Trus kamu gimana kabar?”
“Hmmmmm sedikit buruk hehehe…”
“Dari dulu buruk terus kabarmu. Eh kok tumben sendiri? Bisaanya kamu sama Ari kesini” pertanyaannya sontak membuatku teringat akan sesuatu. Frengki masih ada hubungan keluarga sama Ari, jadi Frengki tau donk apa yang sebenarnya terjadi dengan Ari tapi kok malah sebaliknya? Pertanyaan yang dia lontarkan menunjukan seolah-olah Ari itu masih ada di dunia ini.
“Ari? Lho aku denger dia udah meninggal beberapa hari yang lalu kalau enggak salah semingu yang lalu.”
Dia terlihat terkejut mendengar apa yang aku katakan
“Buseeetttt  dah wik, masak orang yang baru aja tadi aku lihat udah di bilang mati? Siapa yang bilang kayak gitu?”
Jawabannya membuatku terbengong-bengong, dia baru saja melihat Ari? Dimana? Di surga apa di dunia? Melihat Ari apa rohnya?
“Serius Ari masih hidup? Kamu enggak lagi mimpi kan? Atau enggak kamu tadi lihat rohnya?” aku cubit pipi temanku memastikan dia sedang tidak bermimpi
“Adoooowwh sakit. Anjriiit dah mana mungkin aku mimpi wik. Orang itu beneran dia yang aku lihat. Emang siapa yang ngasi tau kamu kalo dia udah mati?”
“Ada seseorang……” aku berfikir sejenak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini seakan di buat-buat?
“Woooeee kok bengong?” Frengki mengagetkanku.
“Eeee…eehhh anu,, Frenk, enggak apa-apa  kok Oh ya kamu mau kemana nih?”
“Aku maunya pulang nih, tapi liat kamu disini aku jadi pengen mampir hehehe”
“Oh kebetulan, bisa  minta tolong nggak?”
“Minta tolong apa wik?”
“Nanti kalau kamu ketemu sama Ari lagi, titip salam ke dia. Bilang aku, Dwi Mahendra kangen sama dia. Oh iya, ini nomor ku, nanti kasi ke dia ya. Biar dia percaya aku ketemu sama kamu”
“Mbuiiii kayak orang pcaran aja kalian berdua. Kangen sama aku enggak nih Wik?”
“Kangen kangen kok, kangen jitak kepalamu” dengan cekatan aku jitak kepalanya
“Adow, sadis kali kau. Yaudah akan aku sampaikan salam mu untuk sang kekasih wkwkwkwkw” dia mengejekku dan pergi meninggalkanku.
Memikirkan apa yang Frengki katakan baru saja, Ari masih hidup? Ari masih ada di dunia ini? sejenak aku merasa senang mendengar berita itu, tapi mengingat apa  yang baru saja terjadi kemarin seketika menghapuskan semua rasa itu menjadi sakit. Kalau memang dia masih ada di dunia ini kenapa dia sama sekali enggak ada menghubungiku? Bahkan disaat aku mencari ke rumahnya dia tidak ada. Kemana sebenarnya dia pergi selama ini? siapa dalang di balik semua ini? Aku enggak percaya dia bisa setega ini kepadaku! Apakah ini jalan yang ingin Tuhan tunjukan untukku? Mencoba melukai diri sendiri berharap bisa menyusul kekasihku yang aku kira ada didunia berbeda, tapi nyatanya dia masih ada di dunia ini. Tuhan masih memberikanku kesempatan hidup untuk mencari sebuah kebenaran.
Aku yang tengah sibuk sendiri dengan berjuta pertanyaanku tiba-tiba dikejutkan dengan dering hp ku sendiri pertanda ada telepon masuk.
“Hallo”
“Dwi…” terdengan suara yang tak asing bagiku
“Iya, siapa ya?”
“Ini aku, Ari”
Aku diam sejenak, benarkah ini dia?
“Wik… kamu baik-baik aja kan? Kamu masih disana?”
“Aku masih disini. Ditempat kita biasa beli es teller”
“Aku segera kesana, aku mohon tunggu aku” pintanya memelas
“Iya” jawabku ketus. Entah kenapa hati ini marah. Marah kepada semua orang!
Tak perlu waktu lama aku menunggu, orang yang selama ini aku cari-cari, orang yang aku kira sudah tiada kini benar-benar nyata ada di depanku. Aku bengong melihat dia benar-benar ada, kakinya benar-benar menyentuh tanah. Dia bukan hantunya Ari tapi real seorang Ari puspita. Dia mendekati ku yang masih terdiam melihatnya. Duduk disebelahku, kita berdua diam seribu kata.
“Tak ku sangka akhirnya aku bisa bertemu dengan mu lagi.” dia memulai percakapan
“Bisakah kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia menatapku, “Kamu terlihat pucat, apa kamu sakit?” dia mencoba menyentuh keningku. Dengan cepat aku tepis tangannya “Stop! Aku baik-baik saja. sekarang yang aku tanyakan, apa yang sebenarnya terjadi? Bisa kamu jelasin semua ini?”
“Maaf wik, semua ini salahku. Sekarang kakakku udah tau hubunganku denganmu. Dia merampas semua hal yang berhubungan tentang kamu. Termasuk hp-ku. Dia memblokade hubunganku dengan mu. Aku enggak tau dari mana dia tau semua ini. Aku berusaha pergi dari rumah, berusaha mencari mu, berusaha menghubungi mu, erusaha menjelaskan semua ini kepada mu tapi aku nggak bisa. Dia merampas semuanya…” dia menceritakan semua yang telah terjadi, tetes air matanya terlihat jelas mengalir di pipinya.
“Selama ini kamu dimana? Kamu tau aku mencari mu berulang kali ke rumah? Kamu tau gimana aku gimana keadaanku ketika kamu di kabarkan sudah meninggal oleh kakakmu, oleh sahabatmu sendiri.? Aku tau berita itu dari Linda!”
“Apa??? Aku dikabarin meninggal???”
“Iya, mereka semua menghujatku. Mereka semua membenci ku, mereka mengataiku seakan kamu mati gara-gara aku, kamu bunuh diri gara-gara aku…. Seakan semua itu salahku! Aku berusaha mencarimu kemana-mana, tapi tak ada satu pun tanda yang bisa membuktikanmu masih ada di dunia ini…” aku diam sejenak, tangis ku akhirnya meledak “…kamu selama ini kemana? Aku sendiri, berdiri sendiri di depan kakakmu yang menghujatku bertubi-tubi, seakan aku  manusia yang paling hina…”
Dia memelukku dengan erat, aku menangis dalam pelukannya
“Aku selama ini di kurung di rumah bibi ku, aku tidak mati, aku tidak mencoba bunuh diri. Aku tidak menyangka mereka tega melakukan ini kepadamu. Cintaku selama ini kamu merasakan hal yang sangat menyakitkan. Maafkan aku tidak berdaya tidak bisa ada disampingmu. Semua ini salahku” pelukannya mengendor ketika dia melihat tanganku yang masih dibalut dengan perban.
“Jangan katakan kamu melakukan hal itu lagi?”
Aku hanya terdiam dan menunduk, celana pendek yang tadinya kering kini basah karena tetes air mataku. Dia mengusap air mataku.
“Maafkan aku ya Dwi. Aku benar-benar menjadi orang yang tidak berguna bagi orang yang aku cintai, tidak bisa menjagamu, tidak bisa ada disampingmu selama ini…”
“Kamu enggak salah. Mungkin memang seperti ini jalan cinta kita… Aku terima kok semua kata-kata kasar yang mereka berikan untukku, tapi kenapa? Kenapa mereka tega melakukan ini semua? Kenapa mereka tidak mengerti tentang cinta yang aku miliki untukmu. Sebegitu besarnya aku berani berbicara di depan kakakmu, menyatakan betapa besarnya cintaku untukmu, memohon maaf atas semua yang terjadi. Tapi apa yang aku dapatkan? Hanya hinaan! Apakah salah kita memiliki cinta seperti ini? Ari, apakah kita tak pantas bahagia dengan cinta yang kita miliki? Sakit banget rasanya, didalam sini, di dalam hatiku ini. apakah kamu juga merasakan hal yang sama?”
Dia menganggukkan kepala “Iya, aku juga merasakan apa yang kamu rasakan sayang. Aku bisa merasakan betapa sakitnya hati mu, karena hati mu itu adalah hatiku. Maafkan aku yang begitu lemah tak berdaya, maafkan aku yang tak sanggup melindungimu. Aku mencintaimu” dia memelukku dan mengecup keningku.
Aku dan dia terhanyut dalam luka yang sama, terhanyut dengan tangis sakit hati ini. Ketika dia mencoba menghiburku, aku dikagetkan dengan sesosok laki-laki yang mencoba menarik kekasihku.
“Apa yang kamu lakukan disini? Aku bilang kamu diam di rumah ya diam!” kakakny dengan beberapa orang dibelakangnya menarik kekasih ku dari sisiku.
“Apa yang kakak lakuin? Kenapa kakak tega sama aku?” terlihat Ari memberontak dan mencoba melepaskan diri dari tangan kakak dan teman-temannya
“Kenapa kakak tega? Aku seperti ini karena kamu itu adikku! Aku malu punya adik yang ternyata seorang lesbian! Gara-gara wanita itu kamu jadi gila seperti ini?”
Plaaakkkk, Ari menampar kakaknya.
“Kak! Aku mencintai dia, kakak nggak sepantasnya ngomong seperti ini! Aku bahagia sama dia!”
Plllaaaaakkkkkkk, terdengar lagi suara tamparan. Kali ini kakaknya menampar Ari begitu keras hingga Ari terjatuh. Aku segera menghampiri Ari dan merangkulnya.
“Kamu!!!!! Kamu berani melawan kkak karena dia? Kamu berani nampar kakak demi seorang wanita? Sini kamu! Ikut pulang sama kakak! Aku bakalan cariin pria yang bisa ngasi kamu lebih, ngasi kamu masa depan yang cerah, bukan masa suram dengan dia” Kakaknya merebut Ari dari pelukanku, dia memaksa Ari masuk ke dalam mobil.
“Kak, aku mohon. Jangan perlakukan Ari seperti ini! Baiklah jika kakak tidak mengijinkan aku mendekatinya lagi. Aku yang akan pergi dari hidupnya! Asalkan jangan kasar sama dia.” aku memohon kepada kakaknya
“Kamu memang lebih baik pergi dari kehidupan keluargaku. Kalau sampai aku lihat kamu menghubungi adikku lagi, jangan harap keluarga mu akan hidup damai”
Dengan kasar kakaknya memaksa Ari masuk ke dalam mobil. Ari yang hanya memiliki tenaga seorang wanita tidak bisa melakukan lebih, tenaganya tetap kalah dengan tenaga teman-teman kakaknya. Dan akhirnya mereka meninggalkanku sendiri dipantai itu. Hanya sendiri…sendiri dengan sakit hati ini.
Dan semua mimpi-mimpi ku bersamanya, tetap hanya sebuah mimpi. Tiga bulan telah berlalu, semenjak kejadian di pantai itu aku menjadi seorang gadis yang pendiam. Aku dengan dunia baruku, sendiri dengan beberapa botol minuman cukup membuat aku melupakan sakit hati ini. Aku menjadi orang yang tidak peduli dengan lingkungan sekitarku, bahkan kuliahku menjadi kacau.
Ketika aku asik sendiri di kos dengan sekaleng minumanku, aku dikagetkan dengan seseorang yang mengetok pintu kamar ku. Aku lihat dari balik jedelaku, terlihat Dian dan beberapa orang teman-temanku datang. Dengan segera aku merapikan kaleng-kaleng minumanku dan aku buka pintu untuk mereka.
“Hai dwi…” sapa Dian
“Oh hay,,, sini masuk dulu” jawabku dengan senyuman “Ada apa nih rame-rame? Mau ngasi duit ya?”
“Iya mau ngasi kamu hadiah, beberapa pertanyaan” sambung Chintya
“Widih aku habis maling ya ? pakek acara introgasi segala” aku mencoba mengalihkan pembicaraan, aku tau kearah mana pembicaraan mereka.
“Wik… Kamu enggak usah mencoba menyembunyikan semua ini dari kita. Kenapa akhir-akhir ini kamu jarang mengikuti kuliah? Kamu ada masalah?”, Dian duduk disampingku
“Aku enggak kenapa-kenapa kok. Aku cuman males aja, kuliahnya membosankan” jawabku cengengesan
“Wik, aku lebih tau kamu dari semua teman-teman dikelas. Jadi kamu enggak usah bohong sama kita. Kalau kamu ada masalah, cerita sama kita. Jangan mengurung diri seperti ini”
Aku hanya diam mendengar mereka memberikanku wejangan.
“Dwii, jangan pernah kamu merasa sendiri. Kita dan teman-teman yang lain selalu ada untuk mu. Aku tau kok, orang tuamu enggak tau keadaanmu seperti ini. Aku yakin kalau mereka tau, mereka akan sangat kecewa sama kamu.”
Dian merangkul ku.
“Ada kita disini untuk merangkulmu, jangan pernah merasa sendiri ya wik?”
Aku mengangguk, tetes air mataku tak bisa aku bendung mendengar apa yang teman-temanku katakan. Benar apa kata mereka, aku tak harusnya merusak diriku. Aku harus bisa memulai hidupku yang baru.
Semenjak itu aku mencoba untuk melangkah kedepan, bersama teman-temanku yang tentunya belum tau bagaimana sejatinya seorang Dwi Mahendra. Aku mulai bisa tertawa ketika  ada mereka, dan aku mencoba mengobati hatiku ini. Mencoba membuka hati untuk orang lain, dan akhirnya aku kenal dengan seorang wanita di jejaring sosialku. Berharap aku bisa menghapuskan luka ini. bukan maksudku melampiaskan sakit hati ini dengan orang lain. Aku mencoba untuk membuka hidupku yang baru, tapi tak bisa aku pungkiri hatiku ini masih ada cinta untuk cinta pertamaku, untuk Ari Puspita.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Hari Minggu, seperti biasa menikmati liburan di rumah bersama keluarga tercintaku. Asik duduk-duduk di depan rumahku, menikmati jalan raya di hari Minggu.
“Dwii…”
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku
“Kamu??? Ngapain kamu kesini?” mataku berkaca-kaca melihat sesosok gadis yang aku cintai hingga saat ini
“Aku, aku setiap hari kesini. Selalu memastikan kamu ada disini, memastikan kamu baik-baik saja wik. Dan akhirnya kini aku bisa melihatmu” dia mencoba mendekatiku. Aku melangkah mundur, menghindari dia mendekatiku.
“Rik, aku mohon pulang saja. Aku enggak mau kamu ada disini.”
Dia berhenti dilangkah terakhirnya.
“Wik, aku tak bisa hidup tanpamu… Aku masih mencintaimu”
“Stop! Aku enggak mau denger apapun lagi. Kamu masih inget apa yang telah terjadi tiga bulan yang lalu? Aku mohon…pergilah dari hidupku” dengan berat hati aku mengatakan ini semua.
“Tapi wik, aku yakin kamu masih mencintaiku. Hatiku ini masih tetap untukmu.”
“Enggak. Aku……” aku terdiam sejenak dan berfikir. “Aku,,, aku sudah punya yang lain. Dia yang selalu ada untukku menemani hari-hariku” akat yang tidak sesuai dengan fakta akhirnya keluar dari mulutku.
Aku tatap matanya Ari yang mulai berkaca-kaca, dan akhirnya meneteskan air mata. Dia berbalik dan meninggalkanku sendiri yang masih terdiam di depan rumahku.
“Maafkan aku rik. Aku melakukan ini semua untuk kebaikanmu. Aku tak ingin melihat mu seperti waktu itu, melihatmu disakiti oleh kakakmu sendiri. Maafkan aku membohongi perasaanmu, aku masih tetap mencintaimu. Masih hingga detik ini” aku berlari masuk kekamarku dengan berlinang tetes air mata.
Aku berusaha membuat dia membenciku, aku lakukan segala cara agar rasa cinta yang dia miliki untukku berubah menjadi benci. Dan semua caraku berhasil.
Aku lihat di salah satu situs jejaring sosialnya, terlihat statusnya dia ‘berpacaran’ dengan seorang wanita. Sakit hati, iya itu yang aku rasakan. Tapi ini keputusanku, mungkin dia bisa bahagia bersama wanita lain. Mungkin dengan wanita itu, dia bisa menemukan kebahagiaan yang lain tanpa sebuah kekangan dari pihak manapun. Aku mencoba menerima semua itu, meski hatiku perih……
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Angin pantai terasa lebih kencang, langit yang tadi nya biru kini berubah dihiasi awan-awan hitam. Tetes demi tetes air menyentuh bumi ini, semakin deras mengiringi sebuah kenangan yang tak pernah aku lupakan. Kenangan yang kadang membuatku tersenyum, dan  tak jarang membuat tetes air mata ini mengalir.
Aku menangis, di bawah derasnya hujan, berlari sekencang-kencangnya hingga kaki ini merasa lelah. Berlari tanpa arah dan tujuan hingga hati ini lelah untuk menangis. Hingga sesak didada ini berkurang. Sesak merasakan cinta yang ditolak oleh “dunia”.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Apakah salah memiliki cinta seperti ini?
Apakah salah aku memiliki cinta?
Kenapa cinta sepertiku selalu dihina?
Kenapa dunia begitu membenciku?
Membenci cinta yang aku miliki.
Salahkah aku dicintai dan mencintai?
Aku yakin, cinta ini adalah cinta ciptaan Tuhan.
Dan aku yakin ciptaanNya tak pernah salah.
Dan cinta ini tak akan pernah SALAH.
Aku masih memiliki cinta ini, meskipun dunia menolak.
Mahendra

3 komentar:

  1. Semangat terus ya. Kebranian kamu menggoreskan silet aku salutkan. Hebat. Aku jg kyk kamu kok. Cerita kita hampir sma mbak. Sukses yaaa..

    BalasHapus
  2. Sabar ya :) pasti ada hikmah dibalik semua yang terjadi :)

    BalasHapus